Sejarah kaligrafi
Bangsa
Arab diakui sebagai bangsa yang sangat ahli dalam bidang sastra, dengan
sederet nama-nama sastrawan beken pada masanya, namun dalam hal tradisi
tulis-menulis (baca: khat) masih tertinggal jauh bila dibandingkan
beberapa bangsa di belahan dunia lainnya yang telah mencapai tingkat
kualitas tulisan yang sangat prestisius. Sebut saja misalnya bangsa Mesir dengan tulisan Hierogliph, bangsa India dengan Devanagari, bangsa Jepang dengan aksara Kaminomoji, bangsa Indian dengan Azteka, bangsa Assiria dengan Fonogram/Tulisan Paku,
dan pelbagai negeri lain sudah terlebih dahulu memiliki jenis
huruf/aksara. Keadaan ini dapat dipahami mengingat Bangsa Arab adalah
bangsa yang hidupnya nomaden (berpindah-pindah) yang tidak
mementingkan keberadaan sebuah tulisan, sehingga tradisi lisan
(komuniksai dari mulut kemulut) lebih mereka sukai, bahkan beberapa
diantara mereka tampak anti huruf. Tulisan baru dikenal pemakaiannya
pada masa menjelang kedatangan Islam dengan ditandai pemajangan al-Mu’alaqat (syair-syair masterpiece yang ditempel di dinding Ka’bah).
Pembentukan
huruf abjad Arab sehingga menjadi dikenal pada masa-masa awal Islam
memakan waktu berabad-abad. Inskripsi Arab Utara bertarikh 250 M, 328 M
dan 512 M menunjukkan kenyataan tersebut. Dari inskripsi-inskripsi yang
ada, dapat ditelusuri bahwa huruf Arab berasal dari huruf Nabati yaitu
huruf orang-orang Arab Utara yang masih dalam rumpun Smith yang terutama
hanya menampilkan huruf-huruf mati. Dari masyarakat Arab Utara yang
mendiami Hirah dan Anbar tulisan tersebut berkembang pemakaiannya ke
wilayah-wilayah selatan Jazirah Arab.
Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Umayyah (661-750 M)
Beberapa
ragam kaligrafi awalnya dikembangkan berdasarkan nama kota tempat
dikembangkannya tulisan. Dari berbagai karakter tulisan hanya ada tiga
gaya utama yang berhubungan dengan tulisan yang dikenal di Makkah dan
Madinah yaitu Mudawwar (bundar), Mutsallats (segitiga), dan Ti’im
(kembar yang tersusun dari segitiga dan bundar). Dari tiga inipun hanya
dua yang diutamakan yaitu gaya kursif dan mudah ditulis yang disebut
gaya Muqawwar berciri lembut, lentur dan gaya Mabsut
berciri kaku dan terdiri goresan-goresan tebal (rectilinear). Dua gaya
inipun menyebabkan timbulnya pembentukan sejumlah gaya lain lagi
diantaranya Mail (miring), Masyq (membesar) dan Naskh (inskriptif). Gaya Masyq dan Naskh terus berkembang, sedangkan Mail lambat laun ditinggalkan karena kalah oleh perkembangan Kufi.
Perkembangan Kufi pun melahirkan beberapa variasi baik pada garis
vertikal maupun horizontalnya, baik menyangkut huruf-huruf maupun hiasan
ornamennya. Muncullah gaya Kufi Murabba’ (lurus-lurus), Muwarraq (berdekorasi daun), Mudhaffar (dianyam), Mutarabith Mu’aqqad
(terlilit berkaitan) dan lainnya. Demikian pula gaya kursif mengalami
perkembangan luar biasa bahkan mengalahkan gaya Kufi, baik dalam hal
keragaman gaya baru maupun penggunannya, dalam hal ini penyalinan
al-Qur’an, kitab-kitab agama, surat-menyurat dan lainnya.
Diantara
kaligrafer Bani Umayyah yang termasyhur mengembangkan tulisan kursif
adalah Qutbah al-Muharrir. Ia menemukan empat tulisan yaitu Thumar, Jalil, Nisf, dan Tsuluts.
Keempat tulisan ini saling melengkapi antara satu gaya dengan gaya lain
sehingga menjadi lebih sempurna. Tulisan Thumar yang berciri tegak
lurus ditulis dengan pena besar pada tumar-tumar (lembaran penuh,
gulungan kulit atau kertas) yang tidak terpotong. Tulisan ini digunakan
untuk komunikasi tertulis para khalifah kepada amir-amir dan penulisan
dokumen resmi istana. Sedangkan tulisan Jalil yang berciri miring
digunakan oleh masyarakat luas.
Sejarah
perkembangan periode ini tidak begitu banyak terungkap oleh karena
khilafah pelanjutnya yaitu Bani Abbasiyah telah menghancurkan sebagian
besar peninggalan-peninggalannya demi kepentingan politis. Hanya ada
beberapa contoh tulisan yang tersisa seperti prasasti pembangunan Dam
yang dibangun Mu’awiyah, tulisan di Qubbah Ash-Shakhrah, inskripsi
tulisan Kufi pada sebuah kolam yang dibangun Khalifah Hisyam dan
lain-lain.
Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Abbasiyah (750-1258 M)
Gaya
dan teknik menulis kaligrafi semakin berkembang terlebih pada periode
ini semakin banyak kaligrafer yang lahir, diantaranya Ad-Dahhak ibn
‘Ajlan yang hidup pada masa Khalifah Abu Abbas As-Shaffah (750-754 M),
dan Ishaq ibn Muhammad pada masa Khalifah al-Manshur (754-775 M) dan
al-Mahdi (775-786 M). Ishaq memberi kontribusi yang besar bagi
pengembangan tulisan Tsuluts dan Tsulutsain dan mempopulerkan
pemakaiannya. Kemudian kaligrafer lain yaitu Abu Yusuf as-Sijzi yang
belajar Jalil kepada Ishaq. Yusuf berhasil menciptakan huruf yang lebih
halus dari sebelumnya.
Adapun
kaligrafer periode Bani Abbasiyah yang tercatat sebagai nama besar
adalah Ibnu Muqlah yang pada masa mudanya belajar kaligrafi kepada
Al-Ahwal al-Muharrir. Ibnu Muqlah berjasa besar bagi pengembangan
tulisan kursif karena penemuannya yang spektakuler tentang rumus-rumus
geometrikal pada kaligrafi yang terdiri dari tiga unsur kesatuan baku
dalam pembuatan huruf yang ia tawarkan yaitu : titik, huruf alif, dan lingkaran. Menurutnya setiap huruf harus dibuat berdasarkan ketentuan ini dan disebut al-Khat al-Mansub (tulisan yang berstandar). Ia juga mempelopori pemakaian enam macam tulisan pokok (al-Aqlam as-Sittah)
yaitu Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riqa’, dan Tauqi’ yang
merupakan tulisan kursif. Tulisan Naskhi dan Tsuluts menjadi populer
dipakai karena usaha Ibnu Muqlah yang akhirnya bisa menggeser dominasi
khat Kufi.
Usaha Ibnu
Muqlah pun dilanjutkan oleh murid-muridnya yang terkenal diantaranya
Muhammad ibn As-Simsimani dan Muhammad ibn Asad. Dari dua muridnya ini
kemudian lahir kaligrafer bernama Ibnu Bawwab. Ibnu Bawwab mengembangkan
lagi rumus yang sudah dirintis oleh Ibnu Muqlah yang dikenal dengan Al-Mansub Al-Faiq
(huruf bersandar yang indah). Ia mempunyai perhatian besar terhadap
perbaikan khat Naskhi dan Muhaqqaq secara radikal. Namun karya-karyanya
hanya sedikit yang tersisa hingga sekarang yaitu sebuah al-Qur’an dan
fragmen duniawi saja.
Pada masa
berikutnya muncul Yaqut al-Musta’simi yang memperkenalkan metode baru
dalam penulisan kaligrafi secara lebih lembut dan halus lagi terhadap
enam gaya pokok yang masyhur itu. Yaqut adalah kaligrafer besar di masa
akhir Daulah Abbasiyah hingga runtuhnya dinasti ini pada tahun 1258 M
karena serbuan tentara Mongol.
Pemakaian
kaligrafi pada masa Daulah Abbasiyah menunjukkan keberagaman yang sangat
nyata, jauh bila dibandingkan dengan masa Umayyah. Para kaligrafer
Daulah Abbasiyah sangat ambisius menggali penemuan-penemuan baru atau
mendeformasi corak-corak yang tengah berkembang. Karya-karya kaligrafi
lebih dominan dipakai sebagai ornamen dan arsitektur oleh Bani Abbasiyah
daripada Bani Umayyah yang hanya mendominasi unsur ornamen floral dan
geometrik yang mendapat pengaruh kebudayaan Hellenisme dan Sasania.
Perkembangan Kaligrafi Periode Lanjut
Selain di kawasan negeri Islam bagian timur (al-Masyriq) yang membentang di sebelah timur Libya termasuk Turki, dikenal juga kawasan bagian barat dari negeri Islam (al-Maghrib)
yang terdiri dari seluruh negeri Arab sebelah barat Mesir, termasuk
Andalusia (Spanyol Islam). Kawasan ini memunculkan bentuk kaligrafi yang
berbeda. Gaya kaligrafi yang berkembang dominan adalah Kufi Maghribi
yang berbeda dengan gaya di Baghdad (Irak). Sistem penulisan yang
ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga tidak sepenuhnya diterima, sehingga gaya
tulisan kursif yang ada bersifat konservatif.
Sementara
bagi kawasan Masyriq, setelah kehancuran Daulah Abbasiyah oleh tentara
Mongol dibawah Jengis Khan dan puteranya Hulagu Khan, perkembangan
kaligrafi dapat segera bangkit kembali tidak kurang dari setengah abad.
Oleh Ghazan cucu Hulagu Khan yang telah memeluk agama Islam, tradisi
kesenian pun dibangun kembali. Penggantinya yaitu Uljaytu juga
meneruskan usaha Ghazan, ia memberikan dorongan kepada kaum terpelajar
dan seniman untuk berkarya. Seni kaligrafi dan hiasan al-Qur’an pun
mencapai puncaknya. Dinasti ini memiliki beberapa kaligrafer yang
dibimbing Yaqut seperti Ahmad al-Suhrawardi yang menyalin al-Quran dalam
gaya Muhaqqaq tahun 1304, Mubarak Shah al-Qutb, Sayyid Haydar, Mubarak
Shah al-Suyufi dan lain-lain.
Dinasti
Il-Khan yang bertahan sampai akhir abad ke-14 digantikan oleh Dinasti
Timuriyah yang didirikan Timur Leng. Meskipun dikenal sebagai pembinasa
besar, namun setelah ia masuk Islam kaum terpelajar dan seniman mendapat
perhatian yang istimewa. Ia mempunyai perhatian besar terhadap
kaligrafi dan memerintahkan penyalinan al-Qur’an. Hal ini dilanjutkan
oleh puteranya Shah Rukh. Diantara ahli kaligrafi pada masa ini adalah
Muhammad al-Tughra’I yang menyalin al-Qur’an bertarih 1408 daam gaya
Muhaqqaq emas. Dan putera Shah Rukh sendiri yang bernama Ibrahim Sulthan
menjadi salah seorang kaligrafer terkemuka.
Dinasti
Timuriyah mengalami kemunduran menjelang abad ke-15 dan segera
digantikan oleh Dinasti Safawiyah yang bertahan di Persia dan Irak
sampai tahun 1736. pendirinya Shah Ismail dan penggantinya Shah Tahmasp
mendorong perumusan dan pengembangan gaya kaligrafi baru yang disebut
Ta’liq yang sekarang dikenal khat Farisi. Gaya baru yang dikembangkan
dari Ta’liq adalah Nasta’liq yang mendapat pengaruh dari Naskhi. Tulisan
Nasta’liq ahkirnya menggeser Naskhi dan menjadi tulisan yang biasa
digunakan untuk menyalin sastra Persia.
Di Kawasan
India dan Afganistan berkembang kaligrafi yang lebih bernuansa
tradisional. Gaya Behari muncul di India pada abad ke-14 yang bergaris
horisontal tebal memanjang yang kontras dengan garis vertikalnya yang
ramping. Sedangkan di kawasan Cina memperlihatkan corak yang khas lagi,
dipengaruhi tarikan kuas penulisan huruf Cina yang lazim disebut gaya Shini.
Gaya ini mendapat pengaruh dari tulisan yang berkembang di India dan
Afganistan. Tulisan Shini biasa ditorehkan di keramik dan tembikar.
Dalam
perkembangan selanjutnya, wilayah Arab diperintah oeh Dinasti Utsmaniyah
(Ottoman) di Turki. Perkembangan kaligrafi sejak masa dinasti ini
hingga perkembangan terakhirnya selalu terkait dengan dinasti Utsmaniyah
Turki. Perkembangan kaligrafi pada masa Utsmaniyah ini memperlihatkan
gairah yang luar biasa. Kecintaan kaligrafi tidak hanya pada kalangan
terpelajar dan seniman tetapi juga beberapa sultan bahkan dikenal juga
sebagai kaligrafer. Mereka tidak segan-segan untuk merekrut ahli-ahli
dari negeri musuh seperti Persia, maka gaya Farisi pun dikembangkan oleh
dinasti ini. Adapun kaligrafer yang dipandang sebagai kaligrafer besar
pada masa dinasti ini adalah Syaikh Hamdullah al-Amasi yang melahirkan
beberapa murid, salah satunya adalah Hafidz Usman. Perkembangan
kaligrafi Turki sejak awal pemerintahan Utsmaniyah melahirkan sejumlah
gaya baru yang luar biasa indahnya, berpatokan dengan gaya kaligrafi
yang dikembangkan di Baghdad jauh sebelumnya. Yang paling penting adalah
Syikastah, Syikastah-amiz, Diwani, dan Diwani Jali.
Syikastah (bentuk patah) adalah gaya yang dikembangkan dari Ta’liq an
Nasta’liq awal. Gaya ini biasanya dipakai untuk keperluan-keperluan
praktis. Gaya Diwani pun pada mulanya adalah penggayaan dari Ta’liq.
Tulisan ini dikembangkan pada akhir abad ke-15 oleh Ibrahim Munif, yang
kemudian disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah. Gaya ini benar-benar
kursif, dengan garis yang dominan melengkung dan bersusun-susun. Diwani
kemudian dikembangkan lagi dan melahirkan gaya baru yang lebih
monumental disebut Diwani Jali, yang juga dikenal sebagai Humayuni (kerajaan). Gaya ini sepenuhnya dikembangkan oleh Hafidz Usman dan para muridnya.
Penulisan kaligrafi merupakan salah satu bentuk keindahan Alquran
yang disebut juga seni menulis indah . Kaligrafi diciptakan dan
dikembangkan oleh kaum Muslim sejak kedatangan Islam. Dibandingkan seni
Islam yang lain, kaligrafi memperoleh kedudukan yang paling tinggi dan
merupakan ekspresi semangat Islam yang sangat khas. Oleh karena itu,
kaligrafi sering disebut sebagai 'seninya seni Islam' (the art of
Islamic).
Meski karya kaligrafi
identik dengan tulisan Arab, kata kaligrafi itu sendiri berasal
dari bahasa Yunani (Kalios: indah dan graphia: tulisan). Sementara itu, bahasa Arab
mengistilahkannya dengan khatt (tulisan atau garis) yang ditujukan pada
tulisan yang indah (al-kitabah al-jamilah atau al-khatt al-jamil).
Akar kaligrafi
Arab sebenarnya adalah tulisan hieroglif Mesir, yang kemudian terpecah
menjadi "khatt Feniqi" (Fenisia), Arami (Aram), dan Musnad (kitab yang
memuat segala macam hadits).
Menurut al-Maqrizi, seorang ahli sejarah abad ke-4, tulisan kaligrafi
Arab pertama kali dikembangkan oleh masyarakat Himyar (suku yang
mendiami Semenanjung Arab bagian barat daya sekitar 115-525 SM). Musnad
merupakan kaligrafi Arab kuno yang mula-mula berkembang dari sekian
banyak jenis khatt yang dipakai oleh masyarakat Himyar. Dari tulisan tua
Musnad yang berkembang di Yaman, lahirlah khatt Kufi.
Sebagai
seni tulis yang melahirkan karya artistik yang bermutu tinggi,
kaligrafi memiliki aturan dan teknik khusus dalam pengerjaannya. Bukan
hanya pada teknik penulisan, tetapi juga pada pemilihan warna, bahan
tulisan, medium, hingga pena. Secara teknis kaligrafi juga sangat
bergantung pada prinsip geometri dan aturan tentang keseimbangan. Aturan
keseimbangan ini secara fundamental didukung oleh huruf alif dan titik
yang menjadi penanda dan pembeda bagi beberapa huruf Arab. Meski dalam
perkembangannya muncul ratusan gaya penulisan kaligrafi, tidak semua
gaya tersebut bertahan hingga saat ini. Ada sembilan gaya penulisan
kaligrafi yang populer yang dikenal oleh para pecinta seni kaligrafi.
Penulisan kaligrafi merupakan salah satu bentuk keindahan Alquran
yang disebut juga seni menulis indah . Kaligrafi diciptakan dan
dikembangkan oleh kaum Muslim sejak kedatangan Islam. Dibandingkan seni
Islam yang lain, kaligrafi memperoleh kedudukan yang paling tinggi dan
merupakan ekspresi semangat Islam yang sangat khas. Oleh karena itu,
kaligrafi sering disebut sebagai 'seninya seni Islam' (the art of
Islamic).
Meski karya kaligrafi
identik dengan tulisan Arab, kata kaligrafi itu sendiri berasal
dari bahasa Yunani (Kalios: indah dan graphia: tulisan). Sementara itu, bahasa Arab
mengistilahkannya dengan khatt (tulisan atau garis) yang ditujukan pada
tulisan yang indah (al-kitabah al-jamilah atau al-khatt al-jamil).
Akar kaligrafi
Arab sebenarnya adalah tulisan hieroglif Mesir, yang kemudian terpecah
menjadi "khatt Feniqi" (Fenisia), Arami (Aram), dan Musnad (kitab yang
memuat segala macam hadits).
Menurut al-Maqrizi, seorang ahli sejarah abad ke-4, tulisan kaligrafi
Arab pertama kali dikembangkan oleh masyarakat Himyar (suku yang
mendiami Semenanjung Arab bagian barat daya sekitar 115-525 SM). Musnad
merupakan kaligrafi Arab kuno yang mula-mula berkembang dari sekian
banyak jenis khatt yang dipakai oleh masyarakat Himyar. Dari tulisan tua
Musnad yang berkembang di Yaman, lahirlah khatt Kufi.
Sebagai
seni tulis yang melahirkan karya artistik yang bermutu tinggi,
kaligrafi memiliki aturan dan teknik khusus dalam pengerjaannya. Bukan
hanya pada teknik penulisan, tetapi juga pada pemilihan warna, bahan
tulisan, medium, hingga pena. Secara teknis kaligrafi juga sangat
bergantung pada prinsip geometri dan aturan tentang keseimbangan. Aturan
keseimbangan ini secara fundamental didukung oleh huruf alif dan titik
yang menjadi penanda dan pembeda bagi beberapa huruf Arab. Meski dalam
perkembangannya muncul ratusan gaya penulisan kaligrafi, tidak semua
gaya tersebut bertahan hingga saat ini. Ada sembilan gaya penulisan
kaligrafi yang populer yang dikenal oleh para pecinta seni kaligrafi.
Gaya bahasa dalam penulisan Kaligrafi antara lain :
1. Kufi
Gaya
penulisan kaligrafi ini banyak digunakan untuk penyalinan Alquran
periode awal. Karena itu, gaya Kufi ini adalah model penulisan paling
tua di antara semua gaya kaligrafi. Gaya ini pertama kali berkembang di
Kota Kufah, Irak, yang merupakan salah satu kota terpenting dalam
sejarah peradaban Islam sejak abad ke-7 M. Gaya penulisan kaligrafi yang
diperkenalkan oleh Bapak Kaligrafi Arab, Ibnu Muqlah, memiliki karakter
huruf yang sangat kaku, patah-patah, dan sangat formal. Gaya ini
kemudian berkembang menjadi lebih ornamental dan sering dipadu
dengan ornamen floral
2. Tsuluts
Seperti halnya gaya Kufi, kaligrafi gaya Tsuluts diperkenalkan oleh Ibnu Muqlah yang merupakan seorang menteri (wazii) di masa Kekhalifahan
Abbasiyah. Tulisan kaligrafi gaya Tsuluts sangat ornamental, dengan
banyak hiasan tambahan dan mudah dibentuk dalam komposisi tertentu untuk
memenuhi ruang tulisan yang tersedia. Karya kaligrafi yang menggunakan
gaya Tsuluts bisa ditulis dalam bentuk kurva, dengan kepala meruncing
dan terkadang ditulis dengan gaya sambung dan interseksi yang kuat.
Karena keindahan dan keluwesannya ini, gaya Tsuluts banyak digunakan
sebagai ornamen arsitektur masjid, sampul buku, dan dekorasi interior.
3. Naskhi
Kaligrafi
gaya Naskhi paling sering dipakai umat Islam, baik untuk menulis naskah
keagamaan maupun tulisan sehari-hari. Gaya Naskhi termasuk gaya
penulisan kaligrafi tertua. Sejak kaidah penulisannya dirumuskan secara
sistematis oleh Ibnu Muqlah pada abad ke-10, gaya kaligrafi ini sangat
populer digunakan untuk menulis mushaf Alquran sampai sekarang. Karakter
hurufnya sederhana, nyaris tanpa hiasan tambahan, sehingga mudah
ditulis dan dibaca.
4. Riq'ah
Kaligrafi
gaya Riq'ah merupakan hasil pengembangan kaligrafi gaya Naskhi dan
Tsuluts. Sebagaimana halnya dengan tulisan gaya Naskhi yang dipakai
dalam tulisan sehari-hari. Riq'ah dikembangkan oleh kaligrafer Daulah
Usmaniyah, lazim pula digunakan untuk tulisan tangan biasa atau untuk
kepentingan praktis lainnya. Karakter hurufnya sangat sederhana, tanpa
harakat, sehingga memungkinkan untuk ditulis cepat.
5. Ijazah (Raihani)
Tulisan kaligrafi
gaya Ijazah (Raihani) merupakan perpaduan antara gaya Tsuluts dan
Naskhi, yang dikembangkan oleh para kaligrafer Daulah Usmani. Gaya ini
lazim digunakan untuk penulisan ijazah dari seorang guru kaligrafi
kepada muridnya. Karakter hurufnya seperti Tsuluts, tetapi lebih
sederhana, sedikit hiasan tambahan, dan tidak lazim ditulis secara
bertumpuk (murakkab).
6. Diwani
Gaya kaligrafi
Diwani dikembangkan oleh kaligrafer Ibrahim Munif. Kemudian,
disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah dan kaligrafer Daulah Usmani di
Turki akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Gaya ini digunakan untuk
menulis kepala surat resmi kerajaan. Karakter gaya ini bulat dan tidak
berharakat. Keindahan tulisannya bergantung pada permainan garisnya yang
kadang-kadang pada huruf tertentu meninggi atau menurun, jauh melebihi
patokan garis horizontalnya. Model kaligrafi Diwani banyak digunakan
untuk ornamen arsitektur dan sampul buku.
7. Diwani Jali
Kaligrafi
gaya Diwani Jali merupakan pengembangan gaya Diwani. Gaya penulisan
kaligrafi ini diperkenalkan oleh Hafiz Usman, seorang kaligrafer
terkemuka Daulah Usmani di Turki. Anatomi huruf Diwani Jali pada
dasarnya mirip Diwani, namun jauh lebih ornamental, padat, dan terkadang
bertumpuk-tumpuk. Berbeda dengan Diwani yang tidak berharakat, Diwani Jali
sebaliknya sangat melimpah. Harakat yang melimpah ini lebih ditujukan
untuk keperluan dekoratif dan tidak seluruhnya berfungsi sebagai tanda
baca. Karenanya, gaya ini sulit dibaca secara selintas. Biasanya, model
ini digunakan untuk aplikasi yang tidak fungsional, seperti dekorasi
interior masjid atau benda hias.
8. Farisi
Seperti
tampak dari namanya, kaligrafi gaya Farisi dikembangkan oleh orang
Persia dan menjadi huruf resmi bangsa ini sejak masa Dinasti
Safawi sampai sekarang. Kaligrafi Farisi sangat mengutamakan unsur
garis, ditulis tanpa harakat, dan kepiawaian penulisnya ditentukan oleh
kelincahannya mempermainkan tebal-tipis huruf dalam 'takaran' yang
tepat. Gaya ini banyak digunakan sebagai dekorasi eksterior masjid di
Iran, yang biasanya dipadu dengan warna-warni arabes.
9. Moalla
Walaupun
belum cukup terkenal, gaya kaligrafi Moalla merupakan gaya yang tidak
standar, dan tidak masuk dalam buku panduan kaligrafi yang umum beredar.
Meski tidak begitu terkenal, kaligrafi ini masih masuk dalam daftar jenis-jenis kaligrafi dalam wikipedia Arab,
tergolong bagian kaligrafi jenis yang berkembang di Iran. Kaligrafi ini
diperkenalkan oleh Hamid Ajami, seorang kaligrafer kelahiran Teheran.
sumber :
- http://majlisdzikrullahpekojan.org/sains-islam/seni-dan-gaya-penulisan-kaligrafi.html
- http://hilyatulqalam.wordpress.com/2009/01/11/sejarah-perkembangan-kaligrafi-di-dunia-islam/